Terhitung sejak 14 September 2014, lima spesies hiu dan dua spesies pari manta yang terancam punah mendapatkan perlindungan dari Konvensi Perdagangan Internasional Terhadap Satwa dan Tumbuhan yang Terancam Punah (Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Flora and Fauna/ CITES).
Perlindungan dilakukan melalui peraturan perlindungan dari aktivitas perikanan yang tidak berkelanjutan di pasar perdagangan internasional. Perdagangan komersil akan diatur untuk memastikan hiu dan pari manta berasal dari sumber yang legal dan diambil dengan praktik berkelanjutan, serta perdagangannya tidak mengancam kelangsungan populasi mereka.
Ketujuh spesies ini dicantumkan dalam daftar Appendix II setelah diperolehnya 2/3 suara mayoritas dari negara-negara yang meratifikasi CITES, termasuk Indonesia, di pertemuan sebelumnya. “Dengan diberikan waktu selama 18 bulan sebelum pemberlakuan regulasi ini, negara-negara yang meratifikasi CITES diharapkan dapat melakukan persiapan terlebih dahulu sehingga penerapannya dapat terlaksana dengan baik,“ ujar Dr. Colman O Criodain, Spesialis Perdagangan Satwa Liar, WWF-Internasional dalam siaran pers, Selasa (16/9/2014).
WWF berharap, regulasi CITES tidak hanya dapat tegas penerapannya, tetapi juga mampu mendorong pengelolaan perikanan berkelanjutan. Jumlah populasi beberapa spesies hiu dan manta yang berstatus langka ini bahkan sudah pada tingkat yang sebenarnya tidak layak ditangkap lagi. Dibutuhkan waktu pemulihan untuk menyelamatkan spesies-spesies tersebut dari ancaman kepunahan.
Indonesia merupakan habitat bagi empat jenis hiu dan dua jenis pari manta yang tercantum dalam daftar Appendix II CITES ini. Spesies hiu dan pari manta tersebut adalah oceanic whitetip shark, 3 jenis hammerhead shark (scalloped hammerhead, smooth hammerhead, great hammerhead), oceanic manta dan reef manta.
Menanggapi regulasi CITES ini, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan kebijakan perlindungan penuh terhadap hiu paus, oceanic manta danreef manta; serta menyusun Rencana Aksi Nasional. Selain itu, Kementerian Kelautan dan Perikanan, melalui Direktorat Konservasi Kawasan dan Jenis Ikan (KKJI), juga berkolaborasi dengan Ditjen Perlindungan Hutan dan Konservasi Alam (PHKA) dalam penyusunan dokumen-dokumen pelengkap dalam pengelolaan perikanan hiu.
“Upaya penyusunan rencana pengelolaan di tingkat nasional perlu segera dilakukan dalam memastikan penerapan ratifikasi CITES ini dapat berjalan dengan baik dan populasi hiu dapat dilestarikan,” kata Wawan Ridwan, Direktur Coral Triangle WWF-Indonesia.
Hiu adalah predator puncak dan memiliki peranan penting dalam menjaga kesehatan ekosistem laut. Mengatur perdagangan adalah kunci untuk melindungi spesies penting ini dan memastikan laut tetap produktif berkontribusi untuk ketahanan pangan.
Diperkirakan 90 persen populasi hiu di beberapa lokasi di dunia mengalami penurunan drastis. Spesies ini diburu untuk sirip, daging, kulit, minyak hati dan tulang rawannya. Permintaan pasar akan sirip hiu terbesar berasal dari Asia, yang kemudian menjadi pendorong atas penangkapan ikan secara berlebihan yang mengakibatkan penurunan populasi.
Sirip oceanic whitetip dan hammerhead diburu karena bernilai tinggi, sementara sepiring produk olahan insang pari mantadicari untuk tonik kesehatan di Cina Selatan.
Kerjasama internasional dinilai sangat penting untuk implementasi langkah-langkah baru CITES. Konvensi ini merupakan bagian dari solusi terpenting untuk mempercepat perbaikan dalam pengelolaan perikanan di negara kepulauan. Namun, juga sangat penting untuk mengurangi konsumsi sirip hiu dan daging hiu.
Menurut Andy Cornish, pimpinan dari Sharks: Restoring the Balance, Meskipun daftar CITES telah dikeluarkan, hingga saat ini masih belum ada sertifikasi keberlanjutan untuk sirip hiu di pasar, sehingga produk tersebut harus dihindari.
WWF telah menginisiasi kampanye untuk mengajak perusahaan dan konsumen di beberapa negara Asia agar berhenti membeli, menjual atau mengonsumsi sirip hiu. Pada Mei 2013 lalu, WWF-Indonesia meluncurkan kampanye Save Our Sharks (#SOSharks) yang mengajak publik untuk menghentikan promosi kuliner, konsumsi, penjualan produk-produk hiu di restoran, hotel, ritel, toko online, dan media massa.