Terungkap, Wabah Ebola di Afrika Dipicu oleh Pemakaman Seorang Tabib

Terungkap, Wabah Ebola di Afrika Dipicu oleh Pemakaman Seorang Tabib


Satu pemakaman memakan ribuan korban. 

Stephen Gire, peneliti evolusi virus di Harvard University, dan rekannya mengungkap, wabah ebola yang terjadi sejak Mei lalu dipicu oleh acara pemakaman seorang tabib di Guyana yang terinfeksi ebola pada bulan yang sama. 

Pemakaman dihadiri oleh 13 orang perempuan. Mereka yang diduga ikut membersihkan jenazah lalu terinfeksi ebola dan membawa virus itu ke Siera Leone ketika kembali. Sejak saat itu wabah ebola pun menyebar cepat, membunuh setidaknya 1.552 orang. 

Kesimpulan itu didapatkan setelah Gire dan rekannya mengambil 99 sampel virus dari 78 pasien yang terinfeksi ebola selama 24 hari pertama epidemi di Siera Leone.

Sampel virus dianalisis secara molekuler untuk memetakan genom virus ebola, mengetahui asal-usulnya, serta mutasi yang terjadi. Hasil analisis dipublikasikan di jurnal Science pada Kamis (28/8/2014).

Urutan genom ebola hasil analisis molekuler telah dipublikasikan pada 31 Juli 2014 lalu secara online. Data itu merupakan data genom ebola terlengkap yang pernah ada.

Selain mengungkap bahwa wabah di Siera Leone dipicu oleh sebuah pemakaman, peneliti juga menemukan, virus ebolabermutasi secara cepat pada manusia. Pada manusia, ebolabermutasi lebih cepat daripada pada hewan.

Virus ebola yang menjadi mengakibatkan saat ini sudah berbeda dengan ebola yang menyebabkan wabah tahun-tahun sebelumnya.

Terungkap, virus telah mengalami 350 mutasi sejak wabah ebolatahun 1970-an. Sejumlah 300 mutasi terjadi dalam periode tahun 1970-an hingga Mei 2014. Sementara, sejak awal wabah kali ini, virus telah bermutasi 50 kali.

Kepada Scientific American, Kamis lalu, Gire mengatakan bahwa tak seperti wabah sebelumnya, dalam wabah kali ini peneliti berhasil mengetahui untaian genom ebola secara cepat. Ini bisa mendasarri pengembangan cara penanganan dan pengobatan.

Namun ia mengakui, masih ada keterbatasan data. Masih perlu studi untuk memahami wabah kali ini secara utuh.

William Schaffner, peneliti penyakit infeksi di Vanderbilt University mengatakan, studi ini memberi petunjuk bahwa wabah kali ini terjadi akibat infeksi antar-manusia. "Bukan infeksi terus menerus dari hewan liar ke manusia," katanya.

Infeksi dari hewan ke manusia memang terjadi. Diduga, virusebola yang awalnya menginfeksi manusia berasal dari kelelawar. Namun, infeksi selanjutnya hingga menjadi wabah berlangsung antar-manusia. 

Anthony Fauci, Direktur Eksekutif Institut Nasional untuk Alergi dan Penyakit Infeksi Amerika Serikat mengatakan, studi ini sangat dahsyat.

Di sisi lain, Fauci juga mengungkap betapa kecil perhatian pada infrastruktur kesehatan di banyak negara. Jika kasus ebolamendapat penanganan tepat, pengendalian kontak satu dengan yang lain, maka ebola mungkin bisa dikelola dengan baik.

Studi ini dilakukan oleh lebih dari 50 pakar. Lima dari sejumlah peneliti itu meninggal karena ebola yang sedang ditelitinya.

Delapan Bulan Hidup di Lingkungan Darat, Ikan Ini Bisa Berjalan

Delapan Bulan Hidup di Lingkungan Darat, Ikan Ini Bisa Berjalan

Antoine Morin
Polypterus senegalus

Memelihara ikan di lingkungan darat ibarat mimpi siang bolong. Namun, tidak demikian untuk tiga peneliti dari McGill University. 

Mereka justru melakukannya guna mengungkap perubahan perilaku dan fisiologis ikan. Ini penting untuk membuktikan salah satu teori dalam evolusi yang menyebutkan bahwa hewan darat mulanya adalah hewan laut yang bermigrasi dan berevolusi sejak 400 juta tahun lalu.

"Saya biasa melihat sirip ikan dan gerakannya, dan berpikir bahwa itu sangat menarik dan kompleks," kata Emily Standen, penulis utama dalam laporan penelitian yang diterbitkan di jurnal Nature, Rabu (27/8/2014). 

"Lantas saya berpikir, wow, bagaimana sebuah organ berubah dari sirip menjadi sesuatu yang bisa bekerja di daratan? Itulah yang membuat proyek penelitian ini dimulai," urai peneliti yang sekarang bekerja di University of Ottawa tersebut.

Standen dan rekannya lalu mengambil 111 sampel Polypterus senegalus, spesies ikan yang berjalan, dengan nama umumsenegal bichir atau "belut dinosaurus".

Sejumlah P senegalus itu dipelihara dalam lingkungan daratan. Lingkungan pemeliharaan terdiri dari kerikil dengan lantai jala dan air setinggi 3 milimeter untuk mencegah ikan mengalami kekeringan.

Sebagai perbandingan, peneliti juga mengobservasi 38 sampel ikan yang dibiarkan hidup di air.

Belut dinosaurus ini punya insang sekaligus paru-paru. Mereka bisa bernapas di darat. Kadang, mereka juga berjalan dari satu kolam ke kolam lain bila air kering. Namun, mereka tak melakukannya dengan sengaja.

Setelah memelihara selama sembilan bulan, peneliti kemudian menganalisis gerakannya. Mereka mengamati 20 ikan yang dibesarkan di darat dan 10 yang dibesarkan di air. Peneliti juga mengamati perubahan rangka ikan.

Terungkap, ikan yang dipelihara di lingkungan darat mengalami perubahan cara berjalan. 

"Ikan yang dipelihara di darat bergerak dengan lebih efektif. Mereka meletakkan kakinya lebih dekat ke bagian tengah, mereka mengangkat kepalanya ke atas lebih tinggi, dan lebih jarang tergelincir," urai Standen seperti dikutip The Verge, Rabu (27/8/2014).

Yang mengejutkan, perilaku bukan satu-satunya hal yang berubah. Tulang yang mendukung gerakan sirip juga mengalami perubahan bentuk. Sementara itu, bagian tulang selangka memanjang. Perubahan terjadi untuk mendukung kepala dan sirip bergerak lebih leluasa. 

"Ini perubahan yang penting," kata Standen.

Hewan yang hidup di darat membutuhkan leher dan gerakan kepala yang lebih leluasa, lebih independen dalam gerakan tubuh.

Studi ini memang memiliki kelemahan. Salah satunya, belut dinosaurus memang memiliki kekerabatan denganEusthenopteron, hewan laut pertama yang berjalan di daratan. Namun, secara umum, riset ini berhasil memberikan gambaran tentang proses evolusi jutaan tahun lalu.
Mau Melihat Videonya???Klik Disini

Lima Calon Lokasi Pendaratan Bersejarah di "Komet Bebek" Ditentukan

Lima Calon Lokasi Pendaratan Bersejarah di "Komet Bebek" Ditentukan

ESA
Lima lokasi pendaratan misi Rosetta di komet 67P/Churyumov-Gerasimenko.

Mimpi manusia untuk mendarat, mempelajari, dan melihat keindahan komet dari dekat akan segera terwujud. Misi wahana Rosetta milik Badan Antariksa Eropa (ESA) untuk mendarat di komet 67P/Churyumov-Gerasimenko mencapai kemajuan berarti.

Pada Minggu (25/8/2014), tim misi Rosetta mengumumkan bahwa mereka telah memilih calon lokasi pendaratan manusia di komet yang berbentuk serupa bebek itu. Kelima lokasi yang dipilih masing-masing disebut dengan istilah situs A, B, C, I, dan J. 

Stephan Ulamec, Philae Lander Manager pada German Aerospace Center di Cologne, Jerman, mengatakan bahwa lima lokasi itu dipilih karena dianggap memenuhi beberapa kriteria dasar untuk mendukung pendaratan.

"Misalnya, semua lokasi itu paling tidak disinari matahari selama 6 jam selama satu hari di komet dan juga punya permukaan datar," ungkap Ulamec dalam rilis yang dikeluarkan ESA di situs web-nya, Minggu.

"Lima lokasi itu memberi kesempatan kepada kita untuk mendarat dan mempelajari komposisi komet, struktur internal, dan aktivitas komet," imbuh Jean-Pierre Bibring, pimpinan tim ilmuwan untuk program instrumen CIVA, salah satu instrumen yang dipakai dalam misi ini.

Pemilihan lima lokasi itu bukan hal yang mudah. Beberapa hal mesti dilihat, misalnya ketersediaan sinar matahari untuk men-charge baterai, ada tidaknya batu besar dan ceruk yang dalam, serta lainnya.

Untuk bisa menentukan hal itu, ilmuwan menggunakan data yang telah diperoleh Rosetta sebelumnya. Data itu antara lain citra resolusi tinggi, temperatur permukaan komet, serta tekanan dan densitas gas di sekitar inti komet.

Lima lokasi itu masih harus dianalisis lagi untuk mendapatkan satu lokasi pendaratan terbaik. Tanggal 14 September 2014 nanti, lokasi pendaratan akan ditentukan. Strategi pendaratan akan dikembangkan sesuai lokasi yang dipilih.

Rosetta akan mendaratkan modul pendarat Philae pada 11 November 2014 nanti. Philae adalah robot berkaki tiga yang nantinya akan secara langsung meneliti komet 67P/C-G. Pada saat pendaratan nanti, Rosetta akan berjarak 20-30 km dari komet, memungkinkannya memotret permukaan komet lebih detail.

Rosetta diluncurkan pada 2014. Sempat mengalami hibernasi, Rosetta kembali aktif pada Januari 2014. Hingga kini, Rosetta telah menempuh jarak 6 miliar kilometer. Misi Rosetta menjadi sejarah baru bagi manusia. Untuk pertama kalinya, manusia mendaratkan wahana di komet

Soal Kabar Bulan Kembar, Mars Takkan Sebesar Bulan

Soal Kabar Bulan Kembar, Mars Takkan Sebesar Bulan

Model posisi Bumi, Bulan, dan Mars pada 28 Agustus 2014 pukul 00.30 WIB

Di internet dan jejaring sosial beredar kabar akan ada bulan kembar di langit pada Kamis (28/8/2014) pukul 00.30. Selain Bulan satelit Bumi, satu bulan lagi adalah planet Mars yang terlihat sebesar dan secerah Bulan. Kondisi itu terjadi karena jarak Mars hanya 34,65 juta mil dari Bumi. Fenomena itu akan terjadi lagi tahun 2287. Itu adalah hoax alias kabar bohong. 

Entah dari mana sumbernya, isu itu muncul tiap tahun pada Agustus sejak peristiwa oposisi Mars, 27 Agustus 2003. Saat itu, Mars yang berjarak 55,8 juta kilometer (km) diisukan akan terlihat sebesar Bulan. Ternyata Mars tetap terlihat sebagai bulatan merah kecil di langit malam.

Sejak saat itu, kabar terlihatnya Mars sebesar Bulan terus direplikasi. Dari tahun ke tahun isinya sama, mulai dari jarak Mars ke Bumi, jam kejadian, hingga waktu terulangnya fenomena itu. Bahkan, susunan pesan serta ajakan melihat fenomena itu pun sama. Hal yang berbeda hanya tanggal terjadinya, 26-28 Agustus.

Setiap isu ini muncul, kehebohan sama kembali berulang. Masyarakat dengan sukarela akan menyebarkan isu tersebut karena pada bagian terakhir isu terdapat iming-iming bahwa mereka yang hidup sekarang tidak akan pernah melihatnya lagi. Ditulis, peristiwa serupa baru akan terjadi tahun 2287.

Pembina Himpunan Astronomi Amatir Jakarta Widya Sawitar, Selasa, mengatakan, Mars tidak akan pernah terlihat sebesar Bulan.

Diameter sudut (diameter obyek berdasarkan pandangan pengamat, tidak memperhitungkan jarak sesunggungnya) terbesar Mars pada jarak terdekat dengan Bumi adalah 25,113 detik busur atau 0,007 derajat. Adapun diameter sudut terbesar Bulan pada jarak terdekat dengan Bumi adalah 34,1 menit busur atau 0,57 derajat.

”Artinya, pada jarak Mars terdekat dengan Bumi pun, besar piringan Mars hanya satu per 81 dari diameter Bulan. Tidak akan pernah menyamai besar Bulan,” kata Widya. Pada jarak rata-rata Mars dan Bulan terhadap Bumi, Mars hanya akan terlihat satu per 141 kali dari ukuran Bulan.

Jarak

Diameter Mars sesungguhnya adalah dua kali diameter Bulan. Namun, karena jarak Mars ke Bumi 593 kali jarak Bulan ke Bumi, walaupun ukuran sebenarnya lebih besar, Mars tetap akan terlihat lebih kecil.

Isu yang beredar, jarak Mars pada Kamis besok disebut 34,65 juta mil atau 55,76 juta km. Jarak itu sebenarnya masih lebih jauh dibandingkan jarak terdekat Mars ke Bumi, 54,6 juta km.

Jarak Mars dan Bumi bervariasi, tergantung posisi di antara keduanya terhadap Matahari sebagai pusat edar keduanya. Kecepatan keduanya bergerak di lintasan elipsnya pun berbeda, tergantung jarak ke bintang induknya, Matahari.

Posisi terdekat Bumi dan Mars terjadi pada saat keduanya pada sisi yang sama terhadap Matahari atau ketika terjadi oposisi. ”Oposisi Mars dan Bumi terjadi tiap 26 bulan sekali,” tambah Widya.

Komunikator astronomi sekaligus pengelola situs astronomi populer Langitselatan.com, Avivah Yamani, mengatakan, untuk melihat Mars sebesar Bulan, Mars harus ”diletakkan” pada dua kali jarak Bumi-Bulan atau sekitar 780.000 km. ”Namun, ”pendekatan” Mars hingga jarak sedekat itu dengan Bumi akan menimbulkan gangguan sebagai akibat interaksi kedua planet,” ujarnya.

Risiko dari gangguan itu adalah Mars akan tertarik ke Bumi sebagai planet yang lebih besar dan jatuh ke Bumi. Risiko lain, Mars sebagai planet yang lebih kecil dari Bumi akan tertendang dari orbitnya, bahkan bisa terlontar keluar dari tata surya.

Bulan mati

Isu tentang dua bulan itu juga tak benar karena Bulan satelit Bumi memang tidak akan tampak di langit malam pada Kamis dini hari. Saat ini, Bulan dalam fase bulan baru atau bulan muda.

Konjungsi atau kesegarisan Matahari-Bulan-Bumi yang menandai fase bulan baru terjadi pada Senin (25/8/2014) pukul 21.13 WIB. Dalam kalender Hijriah, itu menandai masuknya bulan kalender baru. Saat ini, bulan berganti dari Syawal ke Zulkaidah.

Oleh karena berada pada fase bulan muda, Bulan akan terlihat sebagai bulan sabit, bukan bulan purnama seperti citra tentang fenomena bulan kembar yang tersebar di sejumlah jejaring sosial.

Sebagai bulan muda, Bulan akan tenggelam sesaat sesudah Matahari terbenam. Bulan sabit sudah tenggelam enam jam sebelum waktu kejadian bulan kembar yang diisukan. Itu berarti Bulan dalam bentuk apa pun, apalagi purnama, tidak akan terlihat pada Kamis dini hari.

Oleh karena itu pula, masyarakat tak perlu khawatir akan ketinggalan melihat bulan kembar. Sebab, fenomena itu memang tidak akan pernah ada.

Avivah berharap masyarakat cermat memilih informasi yang ada di internet ataupun jejaring sosial dan tidak mudah percaya karena banyak yang tidak didasari bukti. Nama institusi besar bisa jadi hanya tempelan dari orang-orang yang tidak bertanggung jawab. Oleh karena itu, ”Jangan malas mengecek ulang setiap informasi yang diterima,” katanya.

Terungkap, Debu Bulan Berbau seperti Bubuk Mesiu

Terungkap, Debu Bulan Berbau seperti Bubuk Mesiu

NASA

 Wajah kutub utara Bulan dalam citra terbaru NASA.


Tanah di Bumi memiliki bau yang khas. Demikian pula debu di Bulan. Astronot dari Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) yang pernah mendarat di Bulan mengatakan, debu satelit Bumi itu berbau seperti mesiu.

Harrison "Jack" Schmitt, astronot misi Apollo 17 yang melakukan "moonwalk" pada Desember 1972, mengatakan, "Yang bisa saya katakan adalah bahwa kesan sekilas setiap orang tentang baunya adalah seperti mesiu."

Scmitt yakin bahwa rekan-rekan astronot yang pernah mendarat di Bulan juga akan mencium bau yang sama. Kesan tentang bau Bulan yang menyerupai mesiu lebih kuat dari aroma yang lain. Schmitt mengungkapkan, butuh 7 menit bagi dirinya untuk mengenali bau itu.

Larry Taylor, Direktur Planetary Geosciences Institute di University of Tennessee di Knoxville, sependapat dengan Schmitt. Taylor adalah orang bertugas di "back room" Johnson Space Center di Houston dalam misi Apollo 17.

Menurut Taylor, bau yang tercium oleh astronot mirip dengan bau yang tercium oleh geolog saat mereka menggali atau mengebor batuan. Di Bulan, bau khas itu bisa bertahan lebih lama karena kandungan oksigen yang hanya 43 persen.

Bau Bulan yang khas juga tercium oleh Buzz Aldrin, manusia kedua yang mendarat di Bulan dalam misi Apollo 11. KepadaSpace.com, Selasa (26/8/2014), ia mengatakan bahwa bau Bulan "seperti arang yang dibakar".

Apa yang menyebabkan debu Bulan berbau seperti mesiu? Ilmuwan mengatakan, bau khas itu disebabkan disintegrasi batuan basal dan anorthosit. Disintegrasi itu sendiri disebabkan oleh tumbukan meteorit pada masa lalu.

Seorang Remaja Temukan Lobster Langka Berwarna Biru

Seorang Remaja Temukan Lobster Langka Berwarna Biru


 Lobster biru yang langka, hanya satu diantara 2 juta lobster.
Seorang remaja yang sedang memancing bersama ayahnya menangkap lobster yang berwarna biru. Meghan Laplante, nama remaja berusia 14 tahun itu, menemukan lobster superlangka tersebut pada Sabtu (23/8/2014). 

"Ini sangat mengejutkan. Saya tak pernah berpikir menemukan sesuatu seperti ini," kata Laplante seperti dikutip Reuters, Senin (25/8/2014).

Lobster berwarna biru itu ditemukan di wilayah Pine Point, Scarborough, Inggris. Laplante menamai lobster itu "Skyler". Menurut dia, Skyler melambangkan warna biru langit dan juga nama kesukaannya.

Lobster biasanya berwarna hijau kebiruan atau coklat kehijauan. Lobster berwarna biru hanya ada satu di antara 2 juta.

Warna biru lobster disebabkan oleh mutasi genetik. Mutasi menyebabkan produksi protein tertentu dalam jumlah berlebih. Laplante berencana mendonasikan lobster langka itu kepada Maine State Aquarium.

Obyek dalam Foto Ini, Benarkah Tulang Manusia di Mars?

Obyek dalam Foto Ini, Benarkah Tulang Manusia di Mars?

NASA

Wahana Curiosity menangkap citra sebuah obyek di Mars pada 14 Agustus 2014 lalu. Banyak yang menduga bahwa obyek itu adalah tulang manusia. Namun, NASA membantahnya. Obyek itu cuma batu yang tererosi.

Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA) pada 14 Agustus 2014 merilis citra yang diambil oleh kamera Mastcam dari wahana antariksa Curiosity di Mars. Citra itu seketika menjadi kehebohan di dunia maya lantaran menunjukkan adanya obyek serupa tulang manusia.

Pembicaraan UFO Blogger, misalnya, menyebut bahwa obyek tersebut adalah bagian tulang belakang dan tulang jari manusia. Sementara itu, penulis di Northern Voice Online menyebut, obyek itu adalah tanda bahwa kehidupan memang ada di Mars. 

Kehebohan di dunia maya itu memaksa NASA untuk memberikan keterangan. Jumat (22/8/2014) lalu, NASA menyatakan secara resmi bahwa obyek itu adalah batu belaka, sama sekali bukan tulang manusia, dan bukan pula tanda kehidupan di Mars.

"Melihat dengan kamera Mastcam wahana Curiosity di Mars, batu Mars ini mungkin seperti tulang paha. Namun, tim ilmuwan berpikir bahwa ini adalah batu yang dibentuk oleh erosi, baik oleh air maupun angin," papar NASA seperti dikutip Sydney Morning Herald, Sabtu (23/8/2014).

Perry Vlahos dari Astronomical Society of Victoria mengatakan, manusia memang cenderung mengaitkan obyek yang baru dilihatnya dengan obyek lain yang ada dalam ingatannya. "Jadi, tidak mengejutkan ada orang melihat 'manusia di Bulan' atau 'tulang di Mars'," katanya.

Menurut Vlahos, otak manusia memang dirancang untuk mengenali sebuah pola. Ini adalah bagian dari evolusi. Karena itu, manusia cenderung melihat benda biasa dan membandingkannya dengan sesuatu yang membuat dirinya terpesona. 

Ia mengatakan, foto yang ditangkap oleh Curiosity jelas bukan tulang paha di Mars. Sebab, manusia jelas tak pernah hidup di Mars. Jika kehidupan ada atau pernah ada di planet itu, bentuk kehidupannya cuma mikroorganisme.

Cheat 8 Ball Pool Update Agustus

Cheat 8 Ball Pool Update Agustus


1-Load your 8 ball pool 
2-open cheat engine 6.4
3-scan your mini-clip ID in string
4- Total threat 48 or above
5-play any one room 
6-when you opponent break cue ball 
7-copy his mini-clip ID 
8-Paste your opponent ID in Cheat engine
9-Don't pot any cue ball after see You Win! 

Ternyata Awan Juga Ada di Luar Tata Surya Kita

Ternyata Awan Juga Ada di Luar Tata Surya Kita

Bintang katai putih WISE J0855-0714 diduga memiliki awan.
Astronom menemukan tanda keberadaan awan berbahan air di luar tata surya. Jika terkonfirmasi, ini adalah pertama kalinya awan ditemukan di luar sistem keplanetan di mana manusia tinggal.

Awan diketahui menyelimuti sebuah dunia yang berjarak 7,3 tahun cahaya, alias sekitar 69 kuadriliun. Dunia tersebut sejatinya ialah sebuah bintang katai coklat, bintang yang gagal berkembang dan tak mengalami reaksi inti.

Kevin Luhman, astronom dari Pennsylvania State University, menemukan dunia baru itu lewat observasi dengan teleskop inframerah WISE milik Badan Penerbangan dan Antariksa Amerika Serikat (NASA). Dunia baru itu dinamai WISE J0855-0714. 

Jacquline Faherty, astronom dari Carniege Institute of Science di Washington, begitu terobsesi pada obyek temuan Luhman itu. Selama tiga malam pada bulan Mei lalu, ia mengobservasi obyek tersebut dengan teleskop Magellan Baade di Cile.

Pengamatan menghasilkan 151 citra obyek. Saat mengamatinya, Faherty mendapati kemiripan antara citra yang didapatkannya dan model katai coklat yang punya awan air. Ia berpendapat, citra yang didapatkan menjadi bukti adanya awan air di obyek itu. Ia akan memublikasikan hasil observasinya di Astrophysical Journal Letters.

Jonathan Fortney, astronom dari University of California di Santa Cruz, mengatakan bahwa temuan ini menarik. "Ini tentatif, tetapi bukti pertama adanya awan air di luar tata surya," katanya seperti dikutip Sciencemag.org, Senin (25/8/2014).

Air dan semburan uap air telah ditemukan di banyak dunia, tetapi tidak dengan awan air. Awan sendiri di tata surya baru dapat di konfirmasi keberadaannya di Bumi dan Mars. Fenomena awan air ini langka.

Pakai Helm Ini, Kantuk Tak Lagi Jadi Ancaman di Jalan

Pakai Helm Ini, Kantuk Tak Lagi Jadi Ancaman di Jalan

Mengantuk saat mengemudi kerap kali berakhir celaka. Sebuah helm antikantuk dirancang dengan memanfaatkan teknologi sensor getaran, oleh dua mahasiswa Universitas Surabaya. Rancangan ini pun sudah mendapat penghargaan internasional.

Helm antikantuk tersebut memanfaatkan denyut nadi sebagai pemicu getaran. Dirancang oleh dua mahasiswa Fakultas Teknik Universitas Surabaya, Kristiawan Manik dan Ricky Nathaniel Joevan, helm ini mendapat medali emas International Invention Inovation and Design di Universiti Teknologi Mara, Segamat, Johor, Malaysia.

Sekilas dilihat, helm ini tak berbeda dengan helm kebanyakan. Hanya tampak kabel sepanjang 1 meter yang menjulur ke luar helm, sementara perangkat modular tersimpan rapi di dalamnya. Ricky mengatakan helm tersebut mereka namai Anti Drowsing System (Androsys).

Berdasarkan denyut nadi

Ricky menjelaskan, denyut nadi seseorang dalam kondisi normal adalah 80 denyut per menit. Jumlah ini akan menurun ketika orang tersebut mengantuk. Ketika jumlah denyut nadi itu menyusut, ujar dia, saat itulah Androsys bekerja.

Bila denyut nadi yang terukur kurang dari 80 denyut per menit, kata Ricky, maka mikro-controler di dalam peralatan Androsys akan mengirimkan pesan ke vibrator. Mendapat pesan itu, vibrator yang dilekatkan pada bagian dalam di sisi atas helm bergetar. ”Getaran inilah yang berfungsi agar pemakainya tidak jadi mengantuk,”kata Ricky, Senin (25/8/2014).

Rangkaian Androsys ini terdiri dari tiga bagian, yakni input, prosesor, dan vibrator. Bagian input berupa sensor denyut nadi, yang akan dipasang pada tangan atau leher, bagian tubuh seseorang yang teraba denyut nadinya. 

Hasil bacaan sensor ini dikirimkan ke prosesor berupa mikro-controler yang berfungsi menghitung denyut nadi dan mengirimkan pesan getaran ke vibrator tersebut. Bagi pengendara yang sudah mengantuk berat, getaran itu bisa dipakai tanda sehingga dia berhenti mengendarai motornya.

”Saya sudah mencoba helm ini, dan ternyata memang benar, ketika mengantuk langsung ada getaran sehingga rasa kantuknya langsung hilang,” kata Kristiawan menimpali. Menurut dia, ide awal pembuatan helm ini muncul saat dia mengikuti kuliah Design Project. 

Pada saat bersamaan, kata Kristiawan, ada berita yang menyebutkan mengantuk menjadi penyebab tertinggi terjadinya kecelakaan. Dia mengutip, pada Lebaran 2013 misalnya, tercatat 3.657 kecelakaan yang terjadi akibat pengendara kendaraan mengantuk. 

”Dari situ, kami berpikir untuk menciptakan alat pencegah rasa kantuk bagi pengendara motor yang efektif, efisien, dan ekonomis,” tutur Kristiawan. Bersama Ricky, dia pun langsung berburu referensi, yang itu butuh waktu sekitar satu tahun sampai alat mereka sempurna.

Tak lolos Pimnas 2014

Setelah mendapat apresiasi positif dari dosennya, Androsys ini diikutkan dalam program kreativitas mahasiswa (PKM). Mereka pun mendapat dana Rp 9,5 juta dari Dirjen Dikti untuk mengembangkan alatnya. Sayangnya, alat inovatif ini tidak lolos di pekan ilmiah mahasiswa (Pimnas) 2014. 

Meski demikian, Ricky dan Kristiawan tidak patah arang. Mereka ikutkan alat itu dalam ajang International Invention Inovation and Design di Universiti Teknologi Mara Segamat, Johor, Malaysia pada 20 Agustus 2014.

Tanpa diduga Androsys meraih medali emas untuk kategori inovasi mengalahkan 112 peserta dari Amerika, Swedia, Australia, dan tuan rumah Malaysia. ”Kami satu-satunya peserta dari luar yang meraih emas. Gak nyangka juga karena inovasi peserta lainnya juga bagus,” aku Ricky sambil tersenyum.

Kemenangan itu tidak membuat mereka puas. Kini mereka tengah mengembangkan helmnya dengan menambahkan alat pengatur denyut nadi yang lebih mudah di-setting, karena pada dasarnya standar normal jumlah denyut nadi setiap orang berbeda-beda.

”Selain itu kami juga sedang membuat agar sensornya bisa diletakkan di pengait helm sehingga ketika dipakai langsung bisa menempel pada leher untuk langsung bisa mendeteksi denyut nadinya,” papar Kristiawan.

Siap memasarkan

Tak hanya berinovasi, Ricky dan Kristiawan juga sudah berancang-ancang memasarkan produknya. Menurut hitungan mereka, setiap helm dengan teknologi Androsys bisa dipasarkan seharga Rp 500.000.

Diakui Ricky harga ini cukup terjangkau karena hanya memakai sensor denyut nadi dan bukan sensor gelombang otak. Bila memakai sensor gelombang otak seperti yang sudah diteliti lebih dulu keterkaitannya dengan kantuk, harga sensornya saja sudah Rp 10 juta per unit. ”Alat yang kami ciptakna ini sangat murah dan praktis."

Sunardi Tjandra, dosen pembimbing inovasi ini mengatakan prestasi yang diraih Ricky dan Kristiawan jauh melebihi targetnya. Dia berharap helm anti kantuk tersebut bisa segera dipatenkan. "Ini akan terus disempurnakan dan semoga ada generasi-generasi baru yang terus berinvensi dan berinovasi,” kata dia

Mengenal "Solenodon", Si Tikus Raksasa Berbisa

Mengenal "Solenodon", Si Tikus Raksasa Berbisa

Solenodon paradoxus
Tikus besar yang mengeluarkan air liur beracun ditemukan di Kutai Timur, Kalimantan Timur. Tikus itu didugaSolenodon, jenis tikus primitif raksasa berbisa yang sangat langka. Namun, kalangan ilmuwan membantahnya. Tikus itu diyakini tikus bulan (Echninosorex gymnura). 

Seperti apa sebenarnya Solenodon? Mengapa tikus yang ditemukan di Kalimantan tak bisa disebut jenis Solenodon?

Anang S Achmadi, peneliti dari Pusat Penelitian Biologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), mengatakan bahwa ada perbedaan mendasar antara Solenodon dan tikus bulan. "Solenodon itu tikus primitif," katanya.

Solenodon selama jutaan tahun tidak mengalami perubahan berarti, hidup semasa dengan dinosaurus. Mungkin, Solenodonbisa dianalogikan dengan komodo yang juga tak banyak berubah. Sementara itu, tikus bulan ialah tikus yang lebih modern.

Solenodon adalah tikus yang berbisa, aktif pada malam hari, serta memakan serangga. Solenodon sebenarnya adalah sebuah genus dari tikus.

Publikasi Critters 360 pada 24 Oktober 2010 menyebutkan, saat ini hanya ada dua spesies Solenodon yang tersisa di muka bumi. masing-masing adalah Solenodon paradoxus yang hidup di daratan Eropa serta Solenodon cubanus yang dijumpai di Kuba, Amerika Latin.

Spesies Solenodon arredondoi sebelumnya pernah dijumpai di bagian barat Kuba. Namun, spesies itu telah dinyatakan punah. Sementara itu, spesies Solenodon marcanoi yang hidup di Eropa juga bernasib sama.

Anang mengatakan, "Tidak pernah ada Solenodon yang ditemukan di Indonesia."

Jenis Solenodon cubanus sendiri sempat dinyatakan punah pada tahun 1970. Namun, karena ditemukan kembali pada 1974, status punah akhirnya dicabut dan diganti menjadi terancam punah.

Tahun 2012, seperti dipublikasikan Scientific American, 11 Oktober 2012, tim peneliti dari Ecology and Ecosystem Institute di Havanna dan Miyagi University di Jepang menemukan lagi spesies itu.

Solenodon paradoxus dan Solenodon cubanus berbeda karena tempat hidupnya. Spesies yang hidup di Kuba juga sedikit lebih besar.

Solenodon memakan serangga dan arthropoda lain, seperti lipan. Hewan ini memiliki liur yang beracun, berfungsi untuk mematikan mangsa sebelum memakannya. Meski demikian, Solenodon tak punya perlindungan ekstra untuk proteksi diri dari lawan.

Sementara itu, tikus bulan lebih kecil walaupun memiliki kesamaan karena memakan serangga serta memiliki liur beracun. Tikus bulan saat ini juga belum dikategorikan terancam punah. Ancaman utama tikus ini adalah deforestasi.

Tikus Raksasa Berbisa di Kutai Timur Diyakini Bukan "Solenodon"

Tikus Raksasa Berbisa di Kutai Timur Diyakini Bukan "Solenodon"


Tikus bulan (Echinosonorex gymnurus)

Jenis tikus raksasa berbisa ditemukan di Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Temuan tersebut menghebohkan sebab muncul dugaan bahwa tikus itu adalahSolenodon, tikus primitif raksasa yang selama ini hanya ditemukan di Eropa dan Amerika Latin.

hewan yang menurut warga penemunya menyerupai babi tersebut bermoncong panjang, berbau menyengat, berukuran besar, dan mempunyai bulu berwarna putih serta air liur layaknya bisa yang mematikan.

Menanggapi temuan itu, Anang S Achmadi, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah beberapa kali terlibat dalam penemuan tikus, menyatakan bahwa jenis tikus yang ditemukan kemungkinan besar bukan Solenodon.

"Itu moon rat, tikus bulan," katanya saat dihubungi hari ini. Menurut Anang, yang beberapa waktu lalu terlibat dalam penemuan tikus air jenis baru di Sulawesi, tikus yang ditemukan "terlalu jauh kalau disebut Solenodon".

Tikus bulan memiliki ciri-ciri persis seperti yang diberitakan. Hewan ini mempunyai bulu warna putih, ukuran yang bisa sebesar kucing, dan air liur beracun yang digunakan untuk mematikan serangga. "Baunya memang menyengat, seperti kentut," kata Anang.

Dibandingkan Solenodon, tikus bulan sangat jauh. Solenodonjauh lebih primitif. Selain itu, Solenodon hanya ditemukan di Eropa dan Amerika Selatan. Tikus bulan sendiri adalah hewan khas Borneo.

Dari sisi status perlindungannya, Solenodon sudah termasuk golongan terancam punah. Sementara itu, tikus bulan memang sudah masuk daftar hewan dilindungi, tetapi belum dikatakan terancam punah.

Kepala Balai Taman Nasional Kutai Erli Sukrismanto mengatakan, tikus ditemukan warga di luar kawasan taman nasional. Hingga saat ini, pihaknya masih menyelidiki dan belum melihat tikus itu. 

"Saya masih minta staf saya yang ada di dekat lokasi untuk menyelidiki. Selain itu, karena bukan berada di kawasan taman nasional, nanti akan menjadi wewenang BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) untuk menindaklanjuti," ujarnya.

Anang menggarisbawahi pentingnya konfirmasi penemuan sebelum publikasi sehingga tidak terjadi kesalahan ilmu pengetahuan. Dalam hal penemuan hewan, perlu identifikasi yang akurat terlebih dahulu.