Sistem Hukum dan
Peradilan Internasional
Persamaan antara hukum perdata
internasional dan hukum publik internasional terletak pada pengaturan hubungan
atau persoalan yang melintasi batas negara, sedangkan perbedaannya terletak
pada persoalan yang diaturnya.
Dalam menyelesaikan perkara
keperdataan yang berhubungan dengan kebangsaan suatu negara terdapat empat
ketentuan antara lain:
1. Hukum kolisi. Pengertian dari hukum yang satu
ini adalah suatu hukum yang didalamnya terdapat peraturan yang memiliki
fungsi atau tugas untuk menentukan hukum nasional yang mana harus dipakai oleh
hakim dalam menyelesaikan suatu perkara yang membawa orang-orang berlainan
kebangsaannya. Hukum kolisi terdiri dari tiga hal yaitu:
§ Statuta personalia.
Pengertiannya adalah suatu hukum pribadi seseorang yang mana selalu mengikuti
kemana dan dimana orang itu berada.
§ Statuta realia. Pengertiannya
adalah bahwa terhadap benda-benda yang tidak bergerak (hipotek) berlaku UU
Negara dimana benda itu berada.
§ Statuta mixta. Pengertiannya
adalah bahwa perubahan hukum ditentukan berdasarkan UU Negara dimana perbuatan
itu dilakukan.
2. Hukum negara asing: Pengertiannya adalah
sebuah eraturan hukum yang berisikan wewenang hukum dan bertindak orang
asing.
3, Keputusan hakim dan akta
otentik luar negeri. Suatu negara tidak mengakui segala keputusan hakim dan akta resmi
negara lain, kecuali khusus diadakan perjanjiannya.
4. Peraturan khusus hukum
perdata:
§ Perjanjian internasional
§ Kebiasaan internasional
(International Custom), Pengertiannya adalah kebiasaan-kebiasaan yang ada dalam
perhubungan internasional yang diakui dan ditaati oleh negara-negara yang
berkepentingan.
§ Yurisprudensi internasional.
Pengertiannya adalah segala keputusan hakim dalam perkara perhubungan
internasional yang dijadikan pedoman bagi keputusan-keputusan hakim di kemudian
hari.
A. Sumber Hukum Internasional
1. Sumber hukum dalam arti
formal
2. Sumber hukum dalam arti
material:
§ Teori hukum alam (aliran
naturalis): doktrin yang berdasarkan pada hak-hak asasi (fundamental of natural
right). Tokoh: Grotius/ Hugo de Groot
§ Teori positivisme (Hans Kelsen)
adanya persetujuan negara-negara yang berdaulat untuk mengikatkan diri
pada kaidah-kaidah atau norma hukum internasional yang terdiri dari tiga
aliran: Teori common consent: dasar mengikat hukum internasional
adalah persetujuan bersama dari negara-negara yang berdaulat untuk mengikatkan
diri pada kaidah-kaidah hukum internasional. Teori self limitation:
dasar mengikat dari hukum internasional adalah kehendak dari negara yang
berdaulat, Teori pacta sun servanda: dasar mengikat hukum
internasional adalah perjanjian yang dibuat oleh negara-negara yang berdaulat.
B. Subjek Hukum Internasional
Pengertian dari subjek hukum
internasional adalah pihak-pihak yang memiliki hak dan kewajiban dalam hukum
internasional.
a. Negara yang berdaulat
b. Palang Merah Internasional
c. Tata Suci Vatikan
d. Organisasi Internasional
e. Orang Perorangan
f. Pihak-pihak yang bersengketa
dan Pemberontak (Belligerent)
g. Perusahaan transnasional:
:Perusahaan Microsoft
Lembaga Peradilan
Internasional:
a. Mahkamah Internasional
b. Arbitrase internasional: ada
pada lks halaman 45.
c. Mahkamah Pidana
Internasional: bidang hukum pidana internacional yang akan mengadili individu
yang melanggar HAM dan kejahatan perang, genocida (pemusnahan ras), kejahatan
humaniter (kemanusiaan) dan agresi. Contoh: Yugoslavia, Rwanda.
C. Sengketa Internasional
Sengketa internasional adalah
suatu perselisihan antara subjek-subjek hukum internasional mengenai fakta,
hukum atau politik di mana tuntutan atau pernyataan satu pihak ditolak,
dituntut balik atau diingkari oleh pihak lainnya.
Empat faktor penyebab timbulnya
sengketa internasional antara lain:
1) Intervensi. Pengertiannya
adalah suatu tindakan yang dilakukan oleh suatu negara untuk mencampuri urusan
negara lain dimana dapat mengganggu kemerdekaan politik negara yang dicampuri
2) Penyerahan (ekstradisi). Pengertian
dari ekstradisi adalah penyerahan seseorang yang dituduh melakukan tindakan
pidana atau sudah dijatuhi hukuman oleh Negara, ia bersembunyi atau melarikan
diri untuk dikembalikan ke negara asal.
3) suaka (asylum) adalah
perlindungan yang diberikan oleh suatu negara kepada warga negara dari negara
lain.
4) hukum netralitas adalah
sikap suatu negara yang tidak turut berperang dan tidak ikut dalam permusuhan.
Cara menyelesaikan sengketa
internasional antara lain:
1. Cara-cara menyelesaikan
sengketa internasional secara damai yaitu:
a. Rujuk adalah penyelesaian
sengketa melalui usaha penyesuaian pendapat antara pihak-pihak yang bersengketa
secara kekeluargaan dengan cara berikut:
§ Negosiasi yaitu perundingan
antara pihak yang bersengketa sebagai sarana untuk menetapkan sikap tentang
masalah yang disengketakan.
§ Mediasi yaitu merupakan bantuan
jasa baik dari pihak ketiga.
§ Konsiliasi yaitu penyelesaian
sengketa oleh pihak ketiga dengan tidak memihak salah satu pihak.
§ Rujuk yaitu penyelesaian
sengketa yang dilakukan oleh panitia penyelidik secara kekeluargaan.
b. Penyelesaian sengketa di
bawah pengawasan PBB
Untuk menyelesaian sengketa
melalui PBB ini dapat ditempuh secara politik yang dilakukan oleh Majelis Umum
dan Dewan Keamanan atau secara hukum yang dilakukan oleh Mahkamah
Internasional.
c. Arbitrase adalah cara penyelesaian
sengketa dengan mengajukan sengketa kepada orang-orang tertentu (arbitrer) yang
dipilih secara bebas oleh pihak-pihak yang bersengketa.
d. Peradilan internasional adalah penyelesaian
secara hukum internasional yang dapat dilakukan oleh Mahkamah Internasional
atau badan peradilan internasional dengan persetujuan pihak-pihak yang
bersengketa.
2. Penyelesaian sengketa
internasional dengan jalan kekerasan:
§ Blokade masa damai adalah
pengepungan wilayah untuk memutuskan hubungan wilayah itu dengan pihak luar.
§ Pertikaian senjata adalah
petrtentangan yang disertai penggunaan kekerasandengan tujuan menundukkan lawan
dan menetapkan persyaratan damai secara sepihak.
§ Reprisal adalah pembalasan yang
dilakukan oleh suatu negara terhadap tindakan yang melanggar hukum dari negara
lawan dalam suatu pertikaian.
§ Retorsi adalah pembalasan yang
dilakukan oleh suatu negara terhadap tindakan yang tidak pantas dari negara
lain.
D. Mahkamah Internasional
Mahkamah Internasional adalah
salah satu badan perlengkapan PBB yang berwenang mengadili perselisihan
kepentingan dan perselisihan hukum antaranggota PBB.
Prosedur kerja Mahkamah
Internasional dalam penyelesaian masalah internasional yaitu:
§ Prosedur tertulis dan
perdebatan lisan diatur sedemikian rupa sehingga untuk menjamin sepenuhnya
masing-masing pihak mengemukakan pendapatnya;
§ Sidang-sidang mahkamah terbuka
untuk umum, sedangkan sidang-sidang arbitrase tertutup.
§ Rapat-rapat hakim mahkamah
diadakan dalam sidang tertutup.
Identifikasi keputusan Mahkamah
Internasional sebagai berikut:
§ berisi komposisi mahkamah,
informasi mengenai pihak-pihak yang bersengketa beserta wakil-wakilnya, analisa
mengenai fakta-fakta dan argumentasi pihak-pihak yang bersengketa;
§ penjelasan mengenai motivasi
Mahkamah;
§ berisi dispositif yaitu
keputusan Mahkamah yang mengikat Negara-negara yang bersengketa dan disebutkan
jumlah suara yang diperoleh melalui keputusan tersebut.
Kasus dalam Sistem Hukum dan Peradilan Internasional
A. Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas
Yugoslavia
Pengadilan Pidana Internasional untuk Bekas
Yugoslavia (bahasa Inggris: International
Criminal Tribunal for the former Yugoslavia (ICTY))
adalah sebuah badan Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) yang didirikan untuk
mengadili para penjahat perang di Yugoslavia. Pengadilan atau tribunal ini
berfungsi sebagai sebuah pengadilan ad-hoc yang merdeka dan terletak di
Den Haag, Belanda.
Badan ini didirikan oleh Resolusi 827 dari Dewan Keamanan PBB, yang diluncurkan pada tanggal 25 Mei 1993. Badan ini memiliki yurisdiksi mengenai beberapa bentuk kejahatan yang dilakukan di wilayah mantan negara Yugoslavia semenjak 1991: pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949, pelanggaran undang-undang perang, genosida, dankejahatan terhadap kemanusiaan. Badan ini hanya bisa mengadili orang secara pribadi dan bukan organisasi atau pemerintahan. Hukuman maksimum adalah penjara seumur hidup. Beberapa negara telah menanda-tangani perjanjian dengan PBB mengenai pelaksanaan hukuman ini. Vonis terakhir dijatuhkan pada 15 Maret 2004. Badan ini memiliki tujuan untuk mengakhiri semua sidang pada akhir 2008 dan semua kasus banding pada 2010.
Badan ini didirikan oleh Resolusi 827 dari Dewan Keamanan PBB, yang diluncurkan pada tanggal 25 Mei 1993. Badan ini memiliki yurisdiksi mengenai beberapa bentuk kejahatan yang dilakukan di wilayah mantan negara Yugoslavia semenjak 1991: pelanggaran berat Konvensi Jenewa 1949, pelanggaran undang-undang perang, genosida, dankejahatan terhadap kemanusiaan. Badan ini hanya bisa mengadili orang secara pribadi dan bukan organisasi atau pemerintahan. Hukuman maksimum adalah penjara seumur hidup. Beberapa negara telah menanda-tangani perjanjian dengan PBB mengenai pelaksanaan hukuman ini. Vonis terakhir dijatuhkan pada 15 Maret 2004. Badan ini memiliki tujuan untuk mengakhiri semua sidang pada akhir 2008 dan semua kasus banding pada 2010.
B. Sengketa Perairan Ambalat
Sengketa perairan dengan
negeri jiran Malaysia kembali terjadi. Setelah pulau Sipadan dan Ligitan jatuh
ke Malaysia, kini Malaysia mengklaim blok Ambalat sebagai milik mereka. Ambalat
adalah sebuah blok yang kaya akan sumber daya minyak. Ambalat diklaim oleh
pihak Malaysia setelah pengadilan Internasional memberikan pulau Sipadan dan
Ligitan kepada Malaysia. Yang unik adalah pengadilan Internasional membuat
keputusan tersebut karena pihak Malaysia terlihat serius untuk memiliki Sipadan
dan Ligitan. Sedangkan Indonesia sendiri sudah serius mengelola blok Ambalat
sejak tahun 80-an tanpa ada protes dari pihak Malaysia.
Indonesia harus belajar dari pengalaman kasus Sipadan dan Ligitan. Pada waktu itu pihak Malaysia terus membangun fasilitas-fasilitas di Pulau Sipadan tanpa mempedulikan Mahkamah Internasional yang menginstruksikan kedua belah pihak untuk tidak menyentuh Sipadan dan Ligitan sampai ada keputusan. Indonesia mengikuti instruksi tersebut, sedangkan Malaysia tidak menggubrisnya dan bahkan menjadikan Sipadan sebagai daerah tujuan wisata. Akhirnya Sipadan dan Ligitan jatuh ke tangan Malaysia karena Indonesia dianggap tidak menunjukkan sikap ketertarikan kepada Sipadan dan Ligitan.
Pada kasus Ambalat, Indonesia berada di atas angin karena sudah mengeksploitasi daerah tersebut sejak tahun 80-an. Ini tentunya menunjukkan keseriusan Indonesia untuk mengelola daerah tersebut. Selain itu, Indonesia memiliki keuntungan karena merupakan Negara kepulauan yang memiliki hak-hak yang tidak dimiliki oleh negara pantai seperti Malaysia. Klaim Malaysia sendiri baru diketahui dunia akhir-akhir ini dari perjanjian dari Malaysia untuk menyerahkan penggalian sumber daya minyak di sektor Ambalat kepada Shell.
Indonesia juga harus belajar dari pengalaman kasus Timor Leste. Pelajaran yang berharga adalah bahwa negara tetangga akan melakukan apapun untuk memperoleh minyak Indonesia. Saat itu Australia mendukung kemerdekaan Timor Timur atas nama hak asasi manusia. Namun belakangan Australia menusuk dari belakang dengan mengambil alih sebagian besar sumber daya minyak, sumber daya alam satu-satunya milik Timor Leste. Kini Timor Leste
menjadi salah satu negara termiskin di dunia. Selain dengan Indonesia, Malaysia juga pernah memiliki sengketa wilayah dengan Thailand.
Masalah ini bisa diselesaikan kedua pihak dengan mengelola daerah tersebut bersama-sama. Selain itu, Malaysia juga memiliki sengketa yang belum selesai dengan Brunei Darussalam, lagi-lagi juga bertemakan minyak. Belum termasuk sengketa rumit kepulauan Spratly yang melibatkan tak kurang dari 6 negara.
C. Sengketa Sipadan dan Ligitan
Sengketa
Sipadan dan Ligitan adalah persengketaan Indonesia dan Malaysia atas pemilikan
terhadap kedua pulau yang berada di Selat Makassar yaitu pulau Sipadan (luas:
50.000 meter²) dengan koordinat: 4°6′52.86″N 118°37′43.52″E /4 .1146833°N
118.6287556°E dan pulau Ligitan (luas: 18.000 meter²) dengan koordinat: 4°9′N
118°53′E /4 .15°N 118.883°E. Sikap Indonesia semula ingin membawa masalah ini
melalui Dewan Tinggi ASEAN namun akhirnya sepakat untuk menyelesaikan sengketa
ini melalui jalur hukum Mahkamah Internasional.
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam
pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaimpulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketakepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997., sementara pihak mengkaitkan dengan kesehatan Presiden Soeharto dengan akan dipergunakan fasilitas kesehatan di Malaysia.
Persengketaan antara Indonesia dengan Malaysia, mencuat pada tahun 1967 ketika dalam
pertemuan teknis hukum laut antara kedua negara, masing-masing negara ternyata memasukkan pulau Sipadan dan pulau Ligitan ke dalam batas-batas wilayahnya. Kedua negara lalu sepakat agar Sipadan dan Ligitan dinyatakan dalam keadaan status status quo akan tetapi ternyata pengertian ini berbeda. Pihak Malaysia membangun resor parawisata baru yang dikelola pihak swasta Malaysia karena Malaysia memahami status quo sebagai tetap berada di bawah Malaysia sampai persengketaan selesai, sedangkan pihak Indonesia mengartikan bahwa dalam status ini berarti status kedua pulau tadi tidak boleh ditempati/diduduki sampai persoalan atas kepemilikan dua pulau ini selesai. Pada tahun 1969 pihak Malaysia secara sepihak memasukkan kedua pulau tersebut ke dalam peta nasionalnya.
Pada tahun 1976, Traktat Persahabatan dan Kerja Sama di Asia Tenggara atau TAC (Treaty of Amity and Cooperation in Southeast Asia) dalam KTT pertama ASEAN di pulau Bali ini antara lain menyebutkan bahwa akan membentuk Dewan Tinggi ASEAN untuk menyelesaikan perselisihan yang terjadi di antara sesama anggota ASEAN akan tetapi pihak Malaysia menolak beralasan karena terlibat pula sengketa dengan Singapura untuk klaimpulau Batu Puteh, sengketa kepemilikan Sabah dengan Filipina serta sengketakepulauan Spratley di Laut Cina Selatan dengan Brunei Darussalam, Filipina, Vietnam, Cina, dan Taiwan. Pihak Malaysia pada tahun 1991 lalu menempatkan sepasukan polisi hutan (setara Brimob) melakukan pengusiran semua warga negara Indonesia serta meminta pihak Indonesia untuk mencabut klaim atas kedua pulau.
Sikap pihak Indonesia yang ingin membawa masalah ini melalui Dewan Tinggi ASEAN dan selalu menolak membawa masalah ini ke ICJ kemudian melunak. Dalam kunjungannya ke Kuala Lumpur pada tanggal 7 Oktober 1996, Presiden Soeharto akhirnya menyetujui usulan PM Mahathir tersebut yang pernah diusulkan pula oleh Mensesneg Moerdiono dan Wakil PM Anwar Ibrahim, dibuatkan kesepakatan "Final and Binding," pada tanggal 31 Mei 1997, kedua negara menandatangani persetujuan tersebut. Indonesia meratifikasi pada tanggal 29 Desember 1997 dengan Keppres Nomor 49 Tahun 1997 demikian pula Malaysia meratifikasi pada 19 November 1997., sementara pihak mengkaitkan dengan kesehatan Presiden Soeharto dengan akan dipergunakan fasilitas kesehatan di Malaysia.
Keputusan Mahkamah Internasional, pada tahun 1998 masalah sengketa Sipadan dan Ligitan dibawa ke ICJ, kemudian pada hari Selasa 17 Desember 2002 ICJ mengeluarkan keputusan tentang kasus sengketa kedaulatan Pulau Sipadan-Ligatan antara Indonesia dengan Malaysia. Hasilnya, dalam voting di lembaga itu, Malaysia dimenangkan oleh 16 hakim, sementara hanya 1 orang yang berpihak kepada Indonesia. Dari 17 hakim itu, 15 merupakan hakim tetap dari MI, sementara satu hakim merupakan pilihan Malaysia dan satu lagi dipilih oleh Indonesia. Kemenangan Malaysia, oleh karena berdasarkan pertimbangan effectivity (tanpa memutuskan pada pertanyaan dari perairan teritorial dan batas-batas maritim), yaitu pemerintah Inggris (penjajah Malaysia) telah melakukan tindakan administratif secara nyata berupa penerbitan ordonansi perlindungan satwa burung, pungutan pajak terhadap pengumpulan telur penyu sejak tahun 1930, dan operasi mercusuar sejak 1960-an. Sementara itu, kegiatan pariwisata yang dilakukan Malaysia tidak menjadi pertimbangan, serta penolakan berdasarkan chain of title (rangkaian kepemilikan dari Sultan Sulu) akan tetapi gagal dalam menentukan batas di perbatasan laut antara Malaysia dan Indonesia di selat Makassar.
EmoticonEmoticon