Tikus Raksasa Berbisa di Kutai Timur Diyakini Bukan "Solenodon"



Tikus bulan (Echinosonorex gymnurus)

Jenis tikus raksasa berbisa ditemukan di Sangatta, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Temuan tersebut menghebohkan sebab muncul dugaan bahwa tikus itu adalahSolenodon, tikus primitif raksasa yang selama ini hanya ditemukan di Eropa dan Amerika Latin.

hewan yang menurut warga penemunya menyerupai babi tersebut bermoncong panjang, berbau menyengat, berukuran besar, dan mempunyai bulu berwarna putih serta air liur layaknya bisa yang mematikan.

Menanggapi temuan itu, Anang S Achmadi, peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) yang telah beberapa kali terlibat dalam penemuan tikus, menyatakan bahwa jenis tikus yang ditemukan kemungkinan besar bukan Solenodon.

"Itu moon rat, tikus bulan," katanya saat dihubungi hari ini. Menurut Anang, yang beberapa waktu lalu terlibat dalam penemuan tikus air jenis baru di Sulawesi, tikus yang ditemukan "terlalu jauh kalau disebut Solenodon".

Tikus bulan memiliki ciri-ciri persis seperti yang diberitakan. Hewan ini mempunyai bulu warna putih, ukuran yang bisa sebesar kucing, dan air liur beracun yang digunakan untuk mematikan serangga. "Baunya memang menyengat, seperti kentut," kata Anang.

Dibandingkan Solenodon, tikus bulan sangat jauh. Solenodonjauh lebih primitif. Selain itu, Solenodon hanya ditemukan di Eropa dan Amerika Selatan. Tikus bulan sendiri adalah hewan khas Borneo.

Dari sisi status perlindungannya, Solenodon sudah termasuk golongan terancam punah. Sementara itu, tikus bulan memang sudah masuk daftar hewan dilindungi, tetapi belum dikatakan terancam punah.

Kepala Balai Taman Nasional Kutai Erli Sukrismanto mengatakan, tikus ditemukan warga di luar kawasan taman nasional. Hingga saat ini, pihaknya masih menyelidiki dan belum melihat tikus itu. 

"Saya masih minta staf saya yang ada di dekat lokasi untuk menyelidiki. Selain itu, karena bukan berada di kawasan taman nasional, nanti akan menjadi wewenang BKSDA (Balai Konservasi Sumber Daya Alam) untuk menindaklanjuti," ujarnya.

Anang menggarisbawahi pentingnya konfirmasi penemuan sebelum publikasi sehingga tidak terjadi kesalahan ilmu pengetahuan. Dalam hal penemuan hewan, perlu identifikasi yang akurat terlebih dahulu.

Share this

Related Posts

Previous
Next Post »